Monday, May 30, 2016

Eurotrip: Budapest-Dortmund

Budapest-Hungaria, minggu, 19 Maret 2016

Masih terlalu pagi ketika kami menginjakkan kaki di Budapest hbf dari kota Praha. Kami tiba sekitar pukul 06.00 pagi. Kami tidak punya jaringan internet dan belum punya mata uang Hungarian Forints (HUF). Saat itu hari minggu dan masih terlalu pagi. Belum ada toko yang buka. Kalaupun ada, tidak banyak yang buka di hari minggu. Well, selamat datang di Eropa, dimana kehidupan di hari minggu seperti kota mati!! Kalaupun kami berhasil sampai di hostel pun, saat itu masih terlalu pagi. Hostel baru akan buka pukul 10.00. Kami luntang-lantung kedinginan dan memutuskan untuk duduk dan makan jeruk di taman kota menunggu paling tidak jam 08.00 saat McD buka untuk numpang minum kopi dan wifi gratis. 

Heroes square


Hostel kami adalah gedung tua yang terlatak di tengah kota. Ruangannya seperti wohnungsgemeinschaft (WG) atau shared-room kalau di Jerman. Di ruangan tersebut terdapat setidaknya 3 kamar, dan setiap kamar biasanya ada beberapa kasur. Kamar kami berisi 5 kasur (bertingkat) dan kamar mandi. Sementara toilet, meja makan dan dapur ada di luar kamar (sharing). Lumayanlah untuk € 8 permalam/orang.

Hari pertama kami keliling kota Budapest dengan transportasi umum. Memanfaatkan semaksimal mungkin daily ticket yang sudah kami beli. Dimulai dari Heroes square, Art gallery Heroes squareVajdahunyad Castle, lalu naik bis menuju bukit melewati Chain Bridge yang iconic, mengunjungi Buda-Castle dan Fisherman’s Bastion, serta menikmati panorama kota Budapest (dan gedung parlemen) di malam hari dari atas bukit. 


Vajdahunyad Castle
Chain bridge siang (atas) dan malam (bawah)
Gedung parlemen dari atas bukit
Fisherman’s Bastion

Hari kedua kami sengaja tidak membeli daily ticket. Kami kehabisan uang! (sebenernya kami hanya tidak ingin menukar euro dengan HUF lagi). Jadi kami menyusuri Budapest dengan berjalan kaki. Sebelumnya kami menyempatkan makan siang di restoran yang direkomendasikan orang hostel, bernama Bali Cafe (meski gak ada hubungannya dengan pulau Bali sama sekali). Mencoba makanan khas Hungaria yaitu Gulash. Makan mewah di Budapest tidak terlalu menguras kantong, dan cita rasanya pun menarik. Setelah makan siang kami berjalan menuju central market untuk membeli suvenir, dan melanjutkan perjalanan ke arah bukit, kali ini melalui Liberty Bridge menuju Gellert Hill dan Citadel (pundak bukit dimana berdiri patung Liberty), kembali menikmati panorama malam kota Budapest. 
Liberty Bridge (taken by Gilang Aria Seta)

 Liberty statue

Lost in Budapest

Bermodal instinc (tersesat) dan peta menjelajah Budapest
Malam itu kami check out dari losmen. Sebenernya kami masih punya banyak waktu sebelum penerbangan selanjutnya pukul 05.00 pagi menuju Dortmund. Kami putuskan untuk menginap di bandara malam itu. Tidur di lantai menunggu waktu boarding bersama penumpang-penumpang lainnya. Tapi aku tak bisa tidur. Selain karena lantainya dingin dan keras, saat itu adalah detik-detik ulang tahunku. Waktu menunjukkan pukul 00.00 tanggal 22 maret, dan aku tergeletak di lantai bandara Budapest sebagai traveler kere. Ulang tahun yang fenomenal pikirku miris. Namun pukul 03.00 dini hari tiba-tiba Fene datang membawa sepotong kue yang dia beli di cafe, untukku. Aku bener-bener terharu. Aku tau, ini bukan cara terbaik merayakan ulang tahun, tapi mungkin yang paling berkesan. Makasi Fene :)

my bday cake
Perjalanan masuk menuju boarding room tidak cukup mulus. Kami yang hanya punya tiket elektronik kaget ketika diharuskan mencetak tiket dan membayar seharga €15 pertiket. Kami pikir tiket elektronik aja sudah cukup. Aku udah membayar extra €15 untuk large kabin karena aku bawa tas carier yang super besar. No more euro please... Kami yang sudah sangat lelah rasanya sudah tidak bisa berpikir, plus level tensi yang agak tinggi hehe. Salah satu solusi adalah mendownload aplikasi ticketing Wizzair (maskapai yang kami naiki), supaya kami ga usah mencetak tiket. Dengan keterbatasan jaringan internet, memory dan baterei hp serta menjelang waktu boarding, kami sedikit panik. Satu-satunya alat elektronik yang masih berfungsi hanyalah tablet milik Fene yang menyimpan ketiga tiket kami, alhasil kami masuk boarding room menggunakan tablet secara bergantian. Ah sudahlah, yang penting tak ada bayar-bayaran lagi!

Dortmund-Düsseldorf, 22 maret 2016


Tiba lagi di negara yang super ontime dan disiplin. Aku sedikit merasakan rindu pulang ke Jerman. Kami mampir sebentar di apartemen Fene untuk mandi sebelum beranjak lagi untuk mengeksplor kota Dortmund. Kebetulan hari itu Sigit (teman yang sedang analisa sampel di uni Göttingen selama sebulan) ikut bergabung. Sigit dan Gilang memang berencana bertemu di Dortmund dan akan beranjak ke Köln lalu menginap di Bonn sebelum akhirnya Sigit pulang kembali ke Indonesia. Selain Sigit, ada juga Aya teman Fene beserta adiknya, Galuh, yang sedang berlibur ke Dortmund dari Trier. Kami mengunjungi ex kota tambang yang sekarang menjadi area elite di Dortmund (aku lupa nama daerahnya), mengunjungi kampus TU Dortmund dan stadion Borossia Dortmund. Oh ya, TU Dortmund punya hanging tram (seperti monorel) yang menghubungkan tiap area di sekitar kampus.  Satu-satunya kampus yang punya fasilitas H-Bahn. Keren banget. Tapi meskipun aku terkesan, aku sangat-sangat lelah sebetulnya. Aku hanya ingin pulang dan tidur.  Namun malam hari itu Fene ada pertemuan dengan teman-temannya, mahasiswa-mahasiswa arsitek, di kota Boshum. Aku yang ga tahu harus kemana akhirnya pun ikut. Lumayan seru sebetulnya, menambah teman, wawasan dan ber-barbeque ria. Aku anggap ini dinner mewah merayakan ulang tahunku. Tapi ini terlalu larut. Aku terlalu lelah. Aku masih harus mencari tiket keberangkatan menuju Hannover untuk besok melanjutkan trip ke Italy bersama Dini, dan aku belum mencuci baju! Aku perlu mencuci baju dulu karena stok baju bersihku sudah habis. Kami baru tiba di apartemen pukul 01.00 dini hari. Dan aku sudah tak punya energi.


Hanging tram atau H-Bahn di TU Dortmund (taken from internet)

taken by Gilang Aria Seta
Bisa ditebak, aku bangun kesiangan, dan bergegas mencuci baju. Bis ku akan berangkat pukul 11.00 pagi dari Dortmund hbf, sementara jarak dari apartemen ke hbf cukup jauh. Aku rasa aku sedang sial hari itu, mesin pengering tidak bekerja seperti yang kuharapkan. Bajuku masih lembab. Aku dilema, antara mengejar jadwal bis dan tetap memasukkan baju-baju  lembab itu kedalam tas, atau aku mencoba mengeringkan kembali bajuku dan mencari tiket lain.  Kuputuskan untuk mengeringkan kembali bajuku (karena kalaupun aku memaksa berangkat, aku tetap akan ketinggalan bis). Sayangnya, setelah mengeringkan 2 kali pun, bajuku tetap lembab (seseorang tolong ganti mesin cucinyaaa!). Aku ga punya pilihan lain, selain tetap packing. Hiks. Sialnya lagi, gak ada bis ataupun kereta yang jadwalnya pas, semetara aku harus tiba di Hannover sebelum pukul 15.00. Satu-satunya pilihan hanyalah ICE. Kereta super cepat dan super mahal. Tapi apa boleh buat. Kurelakan €50 ku untuk tiket ICE (padahal dengan uang sebesar itu, bisa saja aku membeli tiket pesawat langsung menuju Italy, hiks). Sungguh ironis, kemarin malam aku ber-kere-ria tidur di bandara, dan kali ini aku ber-mewah-ria naik ICE dari Dortmund ke Hannover yang jaraknya sebetulnya ga jauh. Lebih sialnya lagi, di ICE aku duduk di depan pasangan lesbi yang sepanjang perjalanan bermesraan. Lengkap sudah!

No comments:

Post a Comment