Friday, March 11, 2016

Passion

Pagi ini aku sedang ingin minum kopi. Bukan green tea. Biasanya aku selalu minum green tea berkali-kali dalam sehari. Mungkin karena aku merasa lebih butuh antioksidan ketimbang kafein. Tapi kopi yang kuminum bukan top-rated coffee. Bukan kopi tubruk tanpa gula yang biasanya penggemar berat kopi bangga meminumnya. Kopi yang bisa kunikmati hanya coffee-mix sachet-an, yang (kata seorang teman penggemar kopi) kualitasnya sangat rendah. Biarlah. Aku coffee-intolerant. Aku bisa insomnia hanya gara-gara minum kopi. Tapi aku suka aroma kopi. Mungkin karena itu, pagi ini aku memutuskan menyeduh secangkir. Mungkin aroma kopi membawa inspirasi. 


Aku ga bermaksud ber-filosofi kopi-ria seperti novelnya Dee Lestari. Pagi ini otakku terngiang-ngiang tulisan Rara Sekar (Banda Neira) yang semalam kubaca di tumblr-nya, tentang passion. Kira-kira tulisannya begini, Ben is always interested in passionate people,  interested of what makes them tick, what makes them burn

Somehow kalimat ini mengingatkanku pada suatu kutipan yang pernah kubaca lamaaa sekali di perpustakaan Lab Eijkman saat aku sedang mengerjakan penelitian S1. Pada halaman depan sebuah buku genetika yang aku lupa judulnya apa (buatku quote lebih menarik ketimbang content buku itu sendiri hihi) dan lupa siapa yang nyeletuk kutipan ini, I can't understand what makes scientist tick. They are always wrong, but always go on. Kalimat yang selalu menyemangatiku ketika hasil PCR dan elektroforesis-ku berkali-kali gagal, atau ketika hasil penelitianku menjadi bumerang perseteruan antara pembimbing dan pengujiku. Menjadi pengingat, bahkan seorang scientist pun kerap salah. 

“Be young and fool, then you will become old and wise” 

Passion selalu menjadi landasan aku melangkah. Aku pernah ingin menjadi seorang arsitek. Belajar mati-matian untuk bisa masuk arsitektur UI, tapi end-up masuk jurusan Biologi (passing grade arsitektur UI ketinggian sih). Yang menjadi pertimbanganku bertahan di Biologi adalah karena aku dibiayai beasiswa. Karena kuliah bukan perkara murah. At least untukku. Biarlah orang tua ku mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang lain. Lalu akupun belajar “melihat” segala kesempatan yang ada di sekitarku dan menemukan passion yang baru. Dunia biologi, genetika dan laut ternyata begitu menarik, meski bukan sesuatu yang populer saat itu.  Aku putuskan untuk mendalami genetika, dan kuhabiskan hampir setahun di Lab molecular biology paling advance se-Indonesia: Eijkman Institute. Otak dan energiku memang terperas untuk genetika, tapi hatiku selalu menuntunku ke laut. Mungkin karena aku bosenan. Aku bosan seharian dan setiap hari di lab. I never wanted to be trapped into one particular expertise. I'd like to have free choices.  Maka setelah lulus kuputuskan untuk berputar haluan dari dunia molecular genetic ke marine ecology. Aku menolak tawaran untuk terus bekerja di lab Eijkman dan mencoba mengikuti passion ku, meski tau ilmu kelautanku nol dan cuma bermodal pengalaman praktikum dan ilmu dari klub  Sigma (Special Interest Group in Marine Biology) di kampus. Aku ga pernah menyesal pernah mendalami molecular genetic, karena dari perjalanan itu aku jadi tau apa yang bener-bener aku inginkan. 

"Always go with passion, that you are never alone"

Always thought that maybe my dream job is lying undiscovered somewhere under the sea. Jadi kutinggalkan dunia genetika lalu mengejar karir di dunia kelautan. Saat itu batas antara passion dan naif masih samar. Aku ingat salah seorang teman mentertawakan ke-naif-an ku. Katanya aku ga akan berhasil menemukan apa yang saat itu aku inginkan. But i kept following my passion, meskipun perjalananku ga cukup mulus karena aku gak punya dasar ilmu kelautan yang mumpuni... 

Ketika semua teman mulai fokus dengan pekerjaan yang linier dengan ilmunya, aku malah membelot ke arah seni. Rehat sejenak dari dunia keilmiahan (tapi masih sambil cari-cari kesempatan kerjaan di bidang kelautan). Bekerja dengan para seniman grafis jebolan senirupa ITB & IKJ. Orang-orang dengan pikiran nyeleneh, bebas dan kreatif. Dunia yang asing tapi begitu menarik buatku. Dunia dimana ide dan suatu karya muncul karena ketidak-teraturan. Sebelumnya duniaku hanya berkutat dengan science. Tapi di sini aku belajar membuka diri dengan dunia dimana seseorang bisa berkarya tanpa guideline yang kerap kaku. Sebenernya seniman atau scientist sama. Sama-sama edan dan passionate. Seperti kata-kata Kahlil Gibran:


Seseorang yang menatap matahari dengan mata yang tajam, yang jari-jemarinya menggenggam bara api tanpa gemetar”  –Sayap-Sayap Patah

Seperti itulah mereka. Semangat itu bagai elektromagnet yang mengalir di jaringan saraf dan menular padaku.  Always wonder, what makes them tick? What makes them burn?

...

Dulu aku suka menebak-nebak seperti apa kehidupan yang ideal itu. Aku punya banyak mimpi: membuka sekolah untuk anak-anak pedalaman lengkap dengan perpustakaan dan sanggar seninya, membuka research center sekaligus resort di suatu pulau kecil, dan sekarang aku ingin membuka restoran yang menyajikan makanan sehat dengan prinsip holistik, yang bahan makanannya aku tanam sendiri secara organik (meskipun aku paling takut dengan cacing dan ulat)... ke-naif-an ku ternyata belum sembuh.

Tapi saat ini aku merasa krisis passion. Mudah mengeluh. Mood yang naik-turun. Faktor umur kah? Aku butuh perangkat supporting system. Bukan hanya komputer yang butuh. Konsistensi menjaga passion tetap membara itu ga mudah. Mudah terbakar tapi juga mudah menguap. Mmm...mungkin aku perlu tamasya... 

#randomthought



The ideal is not real, not factual; it is what should be, it is something in the future. Now, what I say is this; forget the ideal, and be aware of what you are. Do not pursue what should be, but understand what is. The understanding of what you actually are is far more important than the pursuit of what you should be. Why? Because in understanding what you are there begins a spontaneous process of transformation…
— Jiddu Krishnamurti 


“Aku tidak ingn kaya. Aku hanya ingin hidup. Aku ingin melihat banyak tempat. Aku ingin mendengar banyak suara. Aku ingin menghirup seribu satu bau kehidupan”. – Seno Gumira Ajidarma (seorang wanita di halte bus, 1987) (source: postdysphoria via rarasekar).



Lagi suka bikin baked-baguette toping tuna. Menu yang sama setiap hari. Antara doyan atau ngirit.

No comments:

Post a Comment