Wednesday, September 21, 2016

Eurotrip: Gent & Bonn

Berlanjut dari trip sebelumnya di Paris, aku dan Uthie melanjutkan perjalanan ke kota Gent, Belgia, sementara Tina dan Patrick pulang ke Indonesia. Aku berangkat dari terminal Porte Maillot, Paris, jam 14.30 menggunakan Flixbus, dan tiba jam 18.30 di terminal Dampoort, Gent. Pemilihan kota Gent sebagai next destination adalah semata karena tiket bis menuju kota ini tergolong murah jika dibandingkan dengan Barcelona atau Porto (2 kota yang tadinya mau kami kunjungi setelah Paris). Dan kenapa bukan Brussels yang merupakan ibukota Belgia? karena banyak yang bilang Gent lebih menarik. In which menurutku sih memang kotanya cantik, otentik dan city center-nya bisa dijelajah dalam sehari aja. Kota Gent tergolong sepi dan relatif mahal. Harga single ticket bus aja €3, padahal jarak dari terminal Dampoort menuju city center deket banget, cuma 2 kilo-an (sebagai perbandingan, single ticket di Paris cuma €1,8 sementara Jerman €2,7). 



Gent City Centre





Gent Waffle.
Kami menginap di Backstay hostel. Kami ngebooking sharing room di female dorm, dimana satu kamar berisi 9 kasur bertingkat. Lumayan bersih sih, tapi segala hal serba self-service, bahkan untuk masang seprai dan selimut aja kami lakuin sendiri-sendiri. Tapi ada kejadian lucu ketika pertama kami masuk kamar.  Pas aku masuk kamar, ada salah satu kasur yang selimutnya berantakan, tipikal kasur cowo. Plus ada kemeja cowo menggantung di lemari. Aku mikir, apa kita salah kamar ya? Tapi belum selesai tebak-tebakkannya, tiba-tiba ada om-om masuk kamar. Eng ing eng, kami pun kaget. Ternyata setelah ditelusuri lebih detail, kami ngebookingnya yang mixed-shared-room! Kook bisaaa?! dulu ngebookingnya sambil merem kali ya.. Ah, tapi yasudahlah, toh cuma ada ‘si pakde’ seorangan inih. ‘Pakde’ sebutan kami untuk dia, adalah pensiunan, yang entah gak jelas apa tujuannya di Gent ini. Dia orang Toronto, Kanada, yang punya sakit punggung parah dan hampir sepanjang hari kerjanya tidur.  Malam pertama di Gent aku gak bisa tidur. Horor lah. Si Pakde ngorok dan ngigau, plus ngeluarkan bunyi-bunyian aneh seperti suara plastik (yang akhirnya aku tau itu suara penyangga rahang). Malam kedua kami kedatangan room-mate baru. Kali ini cowo yang keliatannya masih muda. Ga jelas juga orangnya, pulang jam 2 malam dalam keadaan mabuk. Hadeuh, malam itu pun aku ga bisa tidur nyenyak. 

Yah, untuk melupakan drama tentang room-mate kami yang ajaib, kami menghabiskan waktu dari pagi sampai malam keliling kota tua (old town) Gent. Diluar masalah hostel, aku suka Gent yang otentik, walau ga banyak spot wisata di sini. Kebanyakan adanya situs gereja-gereja kuno dan kastil kuno. Dan semuanya bisa dikunjungi dalam sehari. Jadi 2 hari di Gent kayanya terlalu lama buatku. 


Bonn. 28 Juli 2016

Akhirnya hari untuk angkat kaki dari Gent. Gak ada yang salah dengan Gent. Gent adalah kota yang cantik. Mixed-shared-room aja sih yang ngerusak mood sebenernya (ga boleh ngeluh juga sih secara kami sendiri yang ngebooking). Jadi meninggalkan Gent rasanya agak sedikit melegakan haha. Bahkan saking senengnya pulang ke Jerman (oiya, dari Gent kami mampir Bonn dulu untuk ketemu temanku Yani), kami sengaja gak naik kendaraan yang harga tiketnya €3 itu. Kami putuskan untuk berjalan kaki sambil narik-narik koper sejauh 2 kilo dari hostel menuju terminal Dampoort. Kami tiba di terminal Dampoort 2 jam sebelum jadwal bis tiba. "Well prepared", pikirku. Sampai kebodohan lain terjadi. Ternyata terminal Dampoort itu luas dan ada banyak halte. Dan ternyata kami menunggu di halte yang salah (baru sadar pas menjelang waktu kedatangan si bis ga nongol-nongol).  Kami mikirnya nunggu di halte yang sama dengan ketika kami tiba di Gent. Tapi ternyata bus Eurolines yang menuju Bonn ga berhenti di halte itu. Panik, kami berputar-putar nyari halte Eurolines. Keselnya, ditiket ga tertera detail informasi haltenya, terus karena Gent itu kota yang sepi jadi ga ada yang bisa ditanyain. Ketika kami akhirnya menemukan halte yang tepat, si bis Eurolines udah melenggang manis di depan kami. Hiks. 

Sebenernya apa ya salah kami pada Gent, kenapa kota ini sensi banget sih sama kami? Sambil nanar meratapi nasib, kami mencoba mencari alternatif bis lain (sempet kepikiran untuk pulang ke Bremen aja). Tapi ga ada jadwal bis yang waktunya pas, kalaupun ada harganya selangit. Gent bukan kota tujuan favorit, jadi ga banyak alternatif juga. Satu-satunya alternatif adalah ngebooking blablacar. Sistemnya mirip-mirip hitchhiking (numpang mobil orang yang emang tujuannya sama), tapi ini bookingnya via online dan kita harus bayar. Luckily, kami menemukan mobil yang berencana menuju Bonn saat itu juga, dengan harga yang lumayan murah. Plus ternyata supirnya cewe, jadi kami agak lega. Lalu kami pun janjian untuk bertemu di city center (yes narik-narik koper lagi sejauh 2 kilo menuju city center, fiuh!). Katrin, yang punya mobil, adalah cewe muda yang baik dan asik. Dia kebetulan mau mengunjungi temannya di Bonn. Dalam perjalanan itu, kebetulan ada backpacker di pinggir jalan yang lagi nyari tumpangan menuju Brussels. Dan Katrin pun  mengajak si backpacker itu ikut karena perjalanan kami searah. Menurut Katrin ini semacam karma baik yang harus dia teruskan karena dulu dia sering ditampung orang-orang baik ketika backpacking. Si backpacker yang kami ajak ini namanya Niko. Dia adalah orang Jerman. Niko ternyata selama setahun ini solo traveling keliling 26 negara, dan akan mengakhiri petualangannya setelah mengunjungi temannya di Brussels. Jadi selama perjalanan ini kami mendapat banyak dongeng dari Niko dan juga Katrin. Ternyata ketinggalan bis malah membawa hikmah. Bahkan perjalanan menuju Bonn yang seharusnya ditempuh selama 6 jam kalau naik bis, itu hanya memakan waktu 3 jam. Itupun kalau naik bis kami akan diturunkan di halte Köln-Bonn Flughafen yang jaraknya masih jauh dari Bonn hbf. Sementara Katrin menurunkan kami langsung di Bonn hbf, tempat Yani akan menjemput kami. Alhamdulilah. Tapiiii...walau pengalaman hitchhiking-online kami termasuk yang seru, tetap selalu waspada ya guys kalau kalian mau numpang mobil orang yang ga dikenal.


Yani udah menunggu kami di Bonn hbf. Kami menumpang 2 malam di dorm nya. Karena hari juga udah malam, jadi ga ada banyak hal yang bisa kami lakukan malam itu selain makan dan tidur hehe. Keesokkan harinya, kami jalan-jalan di Köln, kota tetangganya Bonn. Jarak dari Bonn menuju Köln ga terlalu jauh, sekitar 30 menit naik kereta RE (kereta regional) atau 45 menit naik U-Bahn (kereta underground).  Yang paling fenomenal dari  Köln yang pasti adalah Kölner-Dom-nya, salah satu cathedral tertinggi di dunia. Icon kebanggaan Jerman. Katedral ini sempet rusak total pas perang dunia II, tapi kemudian direnovasi. Lalu kami menghabiskan siang dengan duduk-duduk di pinggir sungai Rhein, dan sorenya pulang ke Bonn. Oiya, aku sempet mampir juga ke Universität Bonn, kampusnya Yani. Gedung kampusnya kuno, berbeda sama Bremen yang lebih modern. 

Keesokkannya aku pulang ke Bremen naik bis Postbus, sementara Uthie pulang ke Konstanz. Kunjungan di Bonn dan Köln ini cukup singkat, semata memenuhi janjiku yang tertunda untuk mengunjungi Yani. 
Kölner Dom

Uthie & Aryani

No comments:

Post a Comment