Lebih sering aku menjawabnya sendiri, "mungkin memang begini jalannya."
Aku menyayangimu seperti kusayangi diriku sendiri.
Bagaimana mungkin kita ingin berpisah dengan diri kita
sendiri?
Tak Mungkin kulupa caramu memandangku.
Dan tak mungkin kulupa bagaimana semua ini berawal.
Aneh. Pada saat kita hendak berbalik dan menutup pintu, mendadak
ruang yang kita tinggalkan memunculkan keindahan yang selama ini entah
bersembunyi dimana
Hati seperti air.
Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah.
Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali.
Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatimu berhenti mengalir.
Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu.
Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.
Aku tidak tahu kenapa dua manusia yang saling sayang harus
kembali berjalan sendiri-sendiri?
Namun kurasa ku tahu. Kamu pun tahu.
Jika saat itu kita memutuskan untuk terus bersama, itu
karena aku tidak tahu bagaimana menangani kesendirian.
Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri.
Kau tak layak untuk itu.
Kendati kusayang kamu lebih daripada siapapun yang kutahu.
Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman.
Namun, aku tak ingin hanya menjadi beban.
Aku tidak mungkin melupakan dan membuang apapun.
Kamu bukan tisu sekali pakai.
Otakku merekam dan menyimpan kamu, kita, dan 3 tahun ini…
Aku tahu aku akan mengerti.
Saat kau berbalik pergi dan tak kembali.
-Taken and modified from Dee Lestari‘s book-
Ay...?
ReplyDeleteAyunan di taman hati?